Lamut
Lamut adalah sebuah tradisi berkisah yang
berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan, sosial dan budaya Banjar. Lamut merupakan seni
cerita bertutur, seperti wayang atau cianjuran. Bedanya, wayang atau cianjuran
dimainkan dengan seperangkat gamelan
dan kecapi, sedangkan lamut dibawakan dengan terbang, alat tabuh untuk
seni hadrah.
Mereka yang
baru melihat seni lamut selalu mengira kesenian ini mendapat pengaruh dari Timur Tengah. Pada masa Kerajaan Banjar
dipimpin Sultan Suriansyah, lamut hidup
bersama seni tutur Banjar yang lain, seperti Dundam, Madihin, Bakesah,
dan Bapantun.[1]
Pelaksanaan
Lamut akan dilakukan pada malam hari mulai pukul 22.00 sampai pukul 04.00 atau
menjelang subuh tiba. Pembawa cerita dalam Lamut ini diberi julukan Palamutan.
Pada acara, Palamutan dengan membawa terbang besar yang diletakkan
dipangkuannya duduk bersandar di tawing halat (dinding tengah),
dikelilingi oleh pendengarnya yang terdiri dari tua-muda laki-perempuan. Khusus
untuk perempuan disediakan tempat di sebelah dinding tengah tadi.[2]
Daftar Isi
1.
Sejarah
2.
Macam-macam Lamut
a.
2.1 Lamut Batatamba
b.
2.2 Lamut Baramian
3.
Fungsi Lamut
4.
Terancam punah
5.
Refernsi
Sejarah
Lamut berasal dari negeri China, bahasanya pun semula menggunakan bahasa Tionghoa kemudian di terjemahkan
kedalam bahasa Banjar. Datangnya
lamut di tanah Banjar kira-kira pada tahun 1816 yang di bawa oleh para pedagang
Tionghoa ke Banjar hingga ke Amuntai, konon orang-orang
dulu sangat menyukainya karena lamut membawa cerita yang sangat banyak dan
merupakan cerita pengalaman di banyak negeri yang di sampaikan secara bertutur[1].
Ceritanya,
di Amuntai, Raden Ngabe bertemu
pedagang China pemilik kapal dagang Bintang Tse Cay. Dari pedagang itulah ia
pertama kali mendengar alunan syair China. Dalam pertemuan enam bulan kemudian,
Raden Ngabe mendapatkan salinan syair China tersebut.
Sejak itulah
Raden Ngabe mempelajari dan melantunkannya, tanpa iringan terbang. Lamut mulai
berkembang setelah warga minta dimainkan setiap kali panen padi berhasil baik.
Ketika kesenian hadrah masuk di daerah ini, Lamut mendapat iringan terbang.
Seni
bertutur itu disebut lamut karasmin karena menjadi hiburan pada perkawinan,
hari besar keagamaan, maupun acara nasional. Lamut juga digunakan dalam proses
batatamba (penyembuhan penyakit). Orang yang punya hajat dan terkabul biasanya
juga mengundang palamutan. Kata "lamut", konon berasal dari bahasa Arab, laamauta (ﻻﻤﻭﺕ) yang artinya tidak mati[1].
Macam-macam Lamut
Lamut Batatamba
Lamut
Batatamba (Lamut
pengobatan) berfungsi sebagai pengobatan, misalnya untuk anak yang sakit panas
yang tidak sembuh-sembuh, atau ada orang yang sulit melahirkan dan lain-lain.
pertunjukan lamut batatamba haus disertai dengan sejumlah persyaratan, yaitu piduduk
yang terdiri dari perangkat piduduk (sesaji), kemenyan atau perapin (dupa), beras kuning, garam, kelapa utuh, gula
merah, dan sepasang benang-jarum. Setelah itu dilakukan tepung tawar dengan
mahundang-hundang (mengundang) roh halus, membacakan doa selamat, dan
memandikan air yang telah didoakan kepada si sakit[1].
Lamut Baramian
Lamut
Baramian (Lamut
Hiburan) biasa dihadirkan untuk mengisi acara perkawinan, syukuran, khitanan
dan acara hiburan lainnya.
Bila pada wayang ada tokoh punakawan yang terdiri
dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, pada Lamut tokohnya adalah Paman
Lamut serta tiga anaknya; Anglung, Angsina, dan Labai
Buranta. Sedangkan ceritanya sudah berpakem seperti wayang purwa, tentang
kerajaan yang dipimpin Prabu Awang Selenong.
Meski tokoh
dan pakem cerita lamut tertentu, pengembangan cerita tetap dimungkinkan sesuai
kemampuan si pelamutan dalam meramu. Ramuan cerita itu bisa disadur dari kisah
Panji, Andi-andi, atau Tutur Candi, bahkan cerita 1.001 malam. Kisah juga bisa
menjadi dramatis dengan lakon yang gagah berani atau romantis.
Masyarakat
Banjar paling mengharapkan kisah percintaan antara Junjung Masari dan Kasan
Mandi. Para penonton hanyut ketika mendengar kisah percintaan kedua tokoh itu
dalam syair pantun bahasa Banjar.
Lamut juga
digemari warga keturunan Tionghoa di Banjarmasin. Mereka kerap minta lamut
dimainkan saat hendak sembahyang di Pulau
Kembang di tengah Sungai Barito
di Banjarmasin[1].
Fungsi Lamut
Lamut
berfungsi :
- Sebagai media dakwah agama Islam dan muatan pesan–pesan
pemerintah atau pesan dari pengundang Lamut.
- Sebagai hiburan
- Manyampir, yaitu tradisi bagi keturunan
palamutan.
- Hajat seperti untuk tolak bala
atau doa selamat pada acara kelahiran anak, khitanan atau sunatan,
mendapat rejeki. Menurut kepercayaan, kalau menyampir dan hajat ini
tidak dilaksanakan maka akan membuat mamingit yakni menyebabkan
sakit bagi yang bersangkutan.
- Sebagai pendidikan terutama mengenai tata krama kehidupan masyarakat Banjar. Biasanya petatah petitih berupa nasihat, petuah atau bimbingan moral.[3]
Terancam punah
Seni lamut
bisa dikatakan bernasib malang karena kini di ambang punah. Satu per satu
pelamutan meninggal dunia, sementara proses pewarisan dan regenerasi kesenian
itu mandek. Seni berkisah itu juga semakin ditinggalkan karena generasi muda
tak lagi tertarik memainkannya. Kini, tak ada organisasi atau lembaga yang
peduli kepada lamut, apalagi membina munculnya pelamutan baru.[1]
Referensi
1.
Kompas
Online – Gusti Jamhar Akbar, Tokoh Seni Lamut
2.
Blog
Kerajaan Banjar Virtual – Kesenian Lamut
3.
Sastra
Daerah Banjar – Lamut, oleh Arsyad Indradi. Agustus 2008